A.
Pendahuluan
Jurgen Habermas adalah
pewaris dan pembaharu teori kritis, dan juga dikenal sebagai rasionalis besar
terakhir seperti apa yang disampaikan oleh Thomas McCarthy dalam pengantarnya
pada buku Teori Tindakan komunikatif jilid 1. Dialektik der aufklarung adalah salah satu buku yang ditulis oleh
Horkheimer dan Adorno yang kemudian banyak mempengaruhi alur dan gaya pemikiran
Habermas. Inilah yang kemudian menjadi titik tolak pemikiran Jurgen Habermas,
teori kritis dirumuskan sebagai sebuah filsafat empiris sejarah dengan maksud
praktis. “Empiris dan ilmiah, tetapi tidak dikembalikan kepada ilmu-ilmu
empiris analitis; filsafat disini berarti refleksi kritis bukan dalam arti
menetapkan prinsip-prinsip dasar; historis tanpa jatuh ke dalam historisistik;
kemudian praktis, dalam arti terarah pada tindakan politis emansipatoris.”1
Melalui
dialog kritis dengan pemikir-pemikir klasik seperti Marx, Durkheim, Weber, dll,
Habermas kemudian membahas mengenai masalah-masalah yang menjadi tujuan The Theory of Communication Action yang
saling berkaitan yakni; Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak lagi
terikat pada, dan dibatasi oleh, premis-premis subjektif filsafat modern dan
teori sosial; Mengkonstruksi konsep masyarakat dua-level yang mengintegrasikan
dunia kehidupan dan paradigm system; Menskemakan, teori kritis tentang
modernitas yang menganalisis dan membahas patologi-patologinya dengan suatu
cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah daripada pengabaian proyek
pencerahan. Habermas berkeyakinan bahwa sebuah teori masyarakat yang layak
mestinya mengintegrasikan metode dan problematika yang sebelumnya hanya
terdapat dalam filsafat atau ilmu sosial empiris.
Tujuan rekonstruksi historis
dengan maksud sistematis ini adalah menggali dan mengumpulkan kontribusi
positif para pemikir klasik, mengkritisi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan
mereka,;menggunakan pemikiran mereka untuk melampaui mereka.2 Bagi
penulis sendiri adalah hal yang sangat luar biasa dan berani apa yang dilakukan
oleh Habermas, keinginan merubah sekaligus menciptakan teori baru dengan masuk
kedalam alur pemikiran sipencipta teori kemudian merubah arah pemikiran
asalinya tersebut menjadi lebih variatif.
B.
Teori Tindakan Komunikatif
Masyarakat yang komunikatif adalah tujuan universal
masyarakat.
Dalam
The Theory of Communicative Action, Habermas mengembangkan teorinya mengenai
perkembangan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya
komunikatif, dan yang menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata perkembangan
kekuatan produksi atau tekhnologi, melainkan proses
belajar dalam dimensi praktis-etis. Untuk mencapai hal tersebut masyarakat
terlebih dahulu sampai pada tahap konsensus. Sedangkan untuk sampai pada tahap
consensus tersebut, masyarakat harus melakukan proses komunikasi yang
memuaskan. Dalam proses komunikasi yang dilakukan, para partisipan membuat
lawan bicaranya paham akan maksudnya dengan berusaha mencapai klaim-klaim
kesahihan yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa adanya paksaan
sebagai hasil konsensus dari proses komunikasi tersebut. Klaim kesahihan yang
dimaksud oleh Habermas adalah; pertama, klaim kebenaran; kedua, klaim
kesahihan; ketiga klaim kejujuran; keempat, klaim komprehensibilitas.3
Seorang partisan, mengenai apa yang disampaikan dalam proses komunikasi harus
memiliki kebenaran yang dapat diverifikasi, kemudian diungkapkan secara jujur
sehingga mudah dipahami oleh lawan bicaranya.
Dengan mencerna pembahasan diatas sepertinya tidak
adil apabila dalam proses komunikasi tersebut hanya berjalan satu arah. Untuk
menghindari hal tersebut dalam mencapai konsensus yang bebas dari dominasi
harus ada pemahaman timbal balik dalam melakukan proses komunikasi. Inilah yang
dimaksud Habermas sebagai dialog rasional, dimana dalam dialog rasional tidak
ada yang dirugikan. Oleh karena itu
Habermas mencita-citakan suatu model diskursus etik dalam dialog,
melalui integritas kepribadian yang bisa membangun empati dan solidaritas.
Dalam konteks ke Indonesiaan, seperti kita ketahui
bersama bahwa tahun ini (2014) adalah tahun politik, dimana masyarakat
Indonesia akan memilih calon presiden yang akan memimpin Negara Indonesia dalam
lima tahun kedepan. Pada kasus ini, penulis mencoba mengkaitkan teori tindakan
komunikatif Habermas. Untuk
sampai pada tahap konsensus atau dalam kasus ini seorang calon presiden dan
wakil presiden pada akhirnya terpilih, seorang calon presiden dan wakil
presiden harus mengkomunikasikan apa yang menjadi visi dan misinya selama lima tahun menjabat sebagai pemimpin
Negara
dengan seluruh masyarakat Indonesia dengan cara komunikatif. Tindakan komunikatif capres dan
cawapres ini dilakukan agar masyarakat yang akan memilih paham dan mengerti
visi dan misi yang diusung setiap pasangan tersebut. Begitupun sebaliknya,
pemilih juga mengkomunikasikan apa yang menjadi kebutuhannya yang bisa diakomodasi
oleh setiap calon pasangan capres dan cawapres. Sampai disini jelas bahwa dalam
tindakan komunikatif, harus ada ruang dimana ruang tersebut bisa dimaknai
dengan ruang public (Public Sphere)4
yang di dalamnya mengakomodir segala kepentingan yang ada serta terjadi proses
dialog yang rasional. Tentunya apa yang disampaikan oleh Habermas mengenai
Tindakan Komunikatif tidak semudah/sesederhana contoh kasus yang diangkat
diatas.
Namun, Sederhananya bahwa dalam
proses komunikasi yang terjalin antara pemilih (masyarakat Indonesia) dan yang
dipilih (capres dan cawapres) itu terdapat kesepahaman satusama lain. Karena
apabila dalam dua kelompok tidak mencapai konsensus maka tindakan komunikatif
yang dilakukan oleh partisipan tidak berhasil dan tidak dapat disebut sebagai
tindakan yang komunikatif. Seorang pemimpin dalam suatu Negara memang
dibutuhkan, dan untuk bisa menghadirkan pemimpin di tengah-tengah masyarakat
multicultural seperti Indonesia, seorang calon pemimpin harus memiliki
kemampuan yang komunikatif dengan masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang
disampaikan S. Kanngiesser, ”Keniscayaan tindakan yang terkoordinasi melahirkan
kebutuhan komunikasi di dalam masyarakat, yang harus dipenuhi jika ada
kemungkinan untuk mengoordinasikan tindakan secara efektif dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan.”5 Memang tidak mudah untuk memahami apa yang
dipikirkan Habermas, butuh katelitian dan kedalaman ilmu tersendiri dibidangnya
untuk bisa memahami apa yang disampaikannya.
Subjektivitas yang dicirikan Habermas dengan rasio
komunikatif mempertahankan denaturasi diri demi pertahanan diri. Tidak seperti
rasio instrumental, rasio komunkatif tidak dapat dimasukkan secara serampangan
ke dalam pertahanan diri. Rasio komunikatif tidak merujuk pada subjek yang
menjaga dirinya dalam berhubungan dengan objek melalui representasi tindakan,
ataupun pada system penjagaan diri yang memisahkannya dari lingkungan,
melainkan pada suatu tatanan dunia yang terstruktur yang terbentuk di dalam
kegiatan menafsir para anggotanya dan hanya bisa direproduksi melalui
komunikasi.
Dengan
demikian rasio komunikatif tidak sekedar melawan subjek dan system yang telah
dibuat sebelumnya; namun, dia ambil bagian dalam proses strukturasi hal-hal
yang harus
dipertahankan. Perspektif utopis rekonsiliasi dan
kebebasan sebenarnya berpegang pada syarat-syarat sosiasi komunikatif individu;
perspektif ini terbangun di dalam mekanisme linguistik reproduksi spesies.
2.
Kritik Atas Rasio Fungsionalis
Pada buku yang kedua teori tindakan
komunikatif Habermas, lebih banyak mengkritisi para sosiolog pendahulunya,
diantaranya Mead dan Durkheim mengenai pergeseran paradigma dari tindakan
bertujuan menuju tindakan komunikatif, mengenai structural fungsional Talcot
Parsons dan teori system oleh Niklas Luhman. Memang dalam pengantar buku satu,
Habermas menyatakan bahwa apa yang ditulisnya adalah merupakan proses analitis
kritiknya terhadap tugas-tugas yang tengah dihadapi oleh teori kritis.
Tanggapan Habermas mengenai teori
tindakan Parsons bahwa, masalah konstruksi teori yang sesungguhnya adalah
tentang bagaimana mengombinasikan konsep-konsep dasar teori system dan teori
tindakan. Menurutnya, dari kedua aspek tersebut, karena di situ masyarakat
dipahami sebagai kompleks tindakan kelompok-kelompok yang terintegrasi secara
sosial dan memiliki system yang stabil. Selanjutnya Habermas melakukan sebuah
refleksi terhadap pemikiran Parsons bahwa dari dalam paradigma dunia kehidupan,
menawarkan perubahan metode dan perspektif konseptual, yaitu konsepsi
objektivasi dunia kehidupan sebagai system. Menurutnya, selama kita
mempertimbangkan reproduksi material dunia kehidupan, ini bukan soal struktur
simbolis dunia kehidupan itu sendiri, namun hanya soal proses pertukaran dengan
alam sekitarnya yang kepadanya pemeliharaan substrata material tergantung.
Terkait dengan hal diatas, menurut
Habermas, “masuk akal kalau kita mengobjektifkan dunia kehidupan sebagai system
pemeliharaan batas, karena kesalingtergantungan fungsionalnya dijalankan
sehingga tidak dapat dicapai secara baik melalui pengetahuan intuitif konteks
dunia kehidupan para anggotanya. Imperative untuk bertahan hidup memerlukan
integrasi fungsional dunia kehidupan, yang menjangkau struktur simbolis dunia
kehidupan sehingga tidak dapat dipahami tanpa tindakan lebih jauh dari
perspektif partisipan.
Namun mereka memerlukan analisis
kontraintuitif dari sudut pandang peneliti yang mengobjektivasi dunia
kehidupan.” Parsons mengatasi kesulitan yang muncul dari pandangan dualistinya
tentang system tindakan yang terstruktur secara cultural dengan cara
sekonyong-konyong menumpangkan keutamaan konsep-konsep dasar pada teori system.
Demikian kritik Habermas terhadap teori tindakan Talcot Parsons.
Apa yang ada dalam tulisan ini
tentunya masih sangat sedikit dan jauh dari sempurna untuk meresume ataupun
mereview dan merepresentasikan mengenai apa yang dibahas Jurgen Habermas
mengenai Teori Tindakan Komunikatif yang di tulis dalam dua buku tersebut.
Borgata Hotel Casino & Spa & Spa
BalasHapusBorgata 시흥 출장안마 Hotel Casino 구미 출장안마 & Spa. In the heart of the 김제 출장안마 world, the Atlantic is home 경상남도 출장마사지 to a world-class casino, luxury spa, a world-class nightlife salon, fabulous 동해 출장마사지 dining,